Selasa, 13 September 2016

Sejarah Singkat Gunung Muria

Pesona geologi Muria yang terbentang di tiga kabupaten, yakni Kudus, Pati, dan Jepara memiliki riwayat yang sangat menarik. Konon pada zaman dahulu gunung Muria berada di pulau tersendiri, terpisah dari pulau Jawa.
Menelisik akar sejarah Muria masih menjadi garapan serius para peneliti yang belum pupus. Muria sebagai wajah  gelogis, sebagai sumber budaya dan ekonomi, serta religiositas yang melekat pada aktivitas masyarakat Muria masih menjadi sumber kajian yang kaya untuk diteliti, dikembangkan, dan dilestarikan. Muria sebagai bentuk fenomena alam dan sosial yang masih terpendam dalam gunungan sejarah yang belum pernah tuntas untuk diangkat ke permukaan.
Bahkan penamaan “Muria” untuk gunung yang berjarak 18 km dari kota Kudus ini masih menuai tanda tanya. Sholichin Salam, dalam bukunya Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (1976: 47-50) pernah mengemukakan hipotesa mengenai nama Muria. Dengan mengutip buku A Short Cultural History of Indonesia karya Soetjipto Wirjosuprapto, ia berpendapat bahwa nama Muria itu diidentifikasikan dengan nama sebuah bukit di dekat Yerusalem, Palestina. Di sana terdapat Baitul Maqdis yang dekat dengan bukit yang bernama Gunung Moriah, di mana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dahulu membangun sebuah kanisah.
Pulau dan Selat Muria
Pegunungan Muria yang terbentang di tiga kabupaten, yakni Kudus, Pati, dan Jepara memiliki riwayat yang tidak singkat. Muria memiliki pengalaman geologis yang menarik. Konon pada zaman dahulu gunung Muria berada di pulau tersendiri, terpisah dari pulau Jawa. Fakta ini bisa dijumpai dalam beberapa literature yang masih menuai kontroversi di kalangan peneliti.
De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram pernah menyinggung tentang selat Muria ketika menggambarkan ekologi letak Demak. Pada zaman dahulu, Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad ke-17, jalan pintas itu tak lagi dapat dilayari setiap saat{ (1985: 37).
Selanjutnya disebutkan, pada abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati, di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan niatnya untuk menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, sehingga Juwana dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi, ia ingin memulihkan jalan air lama, yang seabad sebelumnya masih bisa dipakai.
Dua sejarawan dari Belanda itu pun menggambarkan, Jepara terletak di sebelah barat pegunungan yang dahulu adalah pulau (Muria). Jepara mempunyai pelabuhan yang aman dan dilindungi tiga pulau kecil. Letak pelabuhan ini amat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar, yang berlayar lewat pantura Jawa menuju Maluku, dan kembali ke barat. 
Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan ini tidak lagi dapat dilayari perahu-perahu yang lebih besar, akibat pendangkalan oleh endapan lumpur, Jepara pun menjadi Pelabuhan Demak. Adapun yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jateng adalah Sungai Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai Serang pada abad ke-18 masih dapat dilayari perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidaknya hingga Godong (kini wilayah Kabupaten Grobogan).
De Graaf dan Pigeaud (1985: 157) berani berspekulasi, daerah hulu Sungai Lusi atau Serang kini bermuara di Laut Jawa, selatan Jepara. Mungkin sungai ini dulu bermuara di selat yang dangkal yang melintasi Demak, Pati, dan Juwana, serta memisahkan Pulau Muria dari daratan Jawa.
Dennys Lombard, sejarawan Prancis juga pernah mengutarakan keberadaan pulau Muria dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Menurutnya, di sebelah timur Semarang terdapat Gunung Muria (1.602 m), sebuah gunung api yang sudah tidak aktif lagi dan dulu merupakan sebuah pulau (Lombard, 1996a: 37) Dia juga mengutarakan, daerah kunci pada masa kerajaan Demak terletak di bagiam tengah, sebelah-menyebelah selat yang memisahkan Gunung Muria dari tanah daratan Jawa. Daerah tersebut menjadi jalan lintas alami tempat kapal-kapal berlabuh. Pusat perekonomian, politik, dan keagamaan adalah Demak yang diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546). (1996b:53)
Lombard mengatakan, pada tahun 1940 Orsoy de Flines memulai penelitian sistematis di perbukitan Grobogan yang terbentuk dari endapan tersier, antara Semarang dan Blora. Pada zaman dulu, saat Gunung Muria masih berupa pulau, letak bukit-bukit di sekitarnya berdekatan dengan laut. Sekarang letak daerah ini agak jauh dari tepi laut.  Berdasarkan studi-studi sejarah terdahulu, Lombard bahkan berani berspekulasi jika daerah genangan air terusan dari pantai mencapai Kuwu (wilayah Kabupaten Grobogan). 

Pada tahun 1967, R Soekmono membicarakan lagi beberapa kesimpulan dari laporan Orsoy de Flines dan coba menelusuri kembali tepi pantai lama, serta meyakini Kota Medang Kuno yang sering disebut dalam berbagai prasasti abad ke-9 dan ke-10 —bahkan masih dikenang dalam beberapa dongeng— terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit Grobogan, dekat Desa Kuwu sekarang. 

Di situlah agaknya terletak kota pelabuhan itu, pada bagian dalam muara yang dapat dimasuki kapal, tetapi jauh dari bangunan-bangunan suci di dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang baru dapat dibenarkan setelah diadakan penggalian sistematis di daerah itu, Soekmono mengingatkan suatu kutipan dalam Xin Tangshu tentang {sumber air asin alami{ yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui, satu-satunya sumber air asin alami di Jawa itu hanya ada di Kuwu, dekat Sungai Lusi, tempat para petani mengambil garamnya sampai sekarang.
 (Lombard, 1996b: 15).

Sumber: Geologi UPN, Prof Bambang, 2005, Peta Muria Lama
Fakta ini diperkuat oleh pernyataan M. Widjanarko, direktur Muria Research Center (MRC) Indonesia. Ia menuturkan bahwa dari segi sejarah geologinya, kawasan Muria pada abad VIII terpisah dari Pulau Jawa dan memiliki Selat Muria. “Pada abad IX, wilayah daratan Kudus mulai terbentuk, bersamaan mulai berkembangnya kerajaan Mataram kuno.” Tutur Widjanarko. Mengutip pendapat Van Bemmelen (1949) ia memprediksi, arah sedimentasi yang terus menerus dari Pulau Jawa melalui pendangkalan sungai-sungai yang mengalir ke arah selat yang menghubungkan kedua pulau pada waktu itu, dengan kecermatan sedimentasi 30 meter per tahun, maka lama kelamaan selat tertutup dan kemudian menjadi daratan hasil proses sedimentasi.
Tidak Aktif, Namun Berpotensi
Mengenai status Gunung Muria, Widjanarko mengemukakan bahwa berdasarkan klasifikasi Direktorat Vulkanologi Gunung Muria tidak termasuk gunung api aktif dan diklasifikasikan sebagai Gunung Api Maar. Dia juga mengutip pendapat Schiedecfer (1959) dalam penelitian Sutikno Bronto dan Sri Mulyaningsih pada Jurnal Geologi Indonesia 2007, Gunung Api Maar adalah cekungan yang uumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya. Gunung Api maar yang cekungan kawahnya tidak berisi air disebut sebagai maar Kering.Maar juga diartikan sebagai kerucut gunung api monogenesis yang memotong batuan dasar dibawah permukaan air tanah dan membentuk kerucut berpematang landai yang tersusun oleh rempah gunung api berbutir halus dan kasar, mempunyai diameter kawah bervariasi antara 100-3000 m yang terisi air sehingga membentuk danau. “Jadi, meskipun tidak termasuk gunung api aktif namun Gunung Muria memiliki potensi letusan jika terjadi perubahan proses geologi pada wilayah tersebut.” Tegasnya


Pesona Geologi Muria
Widjanarko menyebutkan jenis bentang alam Muria. “Bentang Alam Semenanjung Muria terdiri atas dataran, perbukitan, dan pegunungan dimana proses geomorfologi dikontrol oleh kegiatan gunung api.” Jelasnya. Daerah dataran menempati seleluruh pantai barat, utara dan timur serta dataran Kudus-Pati disebelah selatan. Litologi penyusun daerah dataran adalah bahan rombakan berupa endapan lahar dan alluvium. Selain itu dijumpai pula endapan piroklastika dan lava.
Adapun daerah perbukitan merupakan kaki dan lereng bawah Gunung Api Muria, Gunung Api Genuk dan sekitarnya serta perbukitan yang terletak pada Gunung Api Pati ayam.Di Gunung Api Pati ayam yang sekarang terdapat proyek penggalian fosil hewan purba juga diduga terdapat ikatan riwayat dengan Gunung Muria. Litologi penyusun daerah perbukitan  adalah lava, piroklastika dan lahar. Daerah pegunungan meliputi kawasan puncak Gunung Muria dan puncak Gunung Genuk merupakan pusat erupsi. Batuan penyusun terdiri atas lava, intrusi dan breksi piroklastika.
Kepercayaan Muria Purba
Peradaban primitif Muria juga masih menjadi tanda tanya besar. Menurut Mastor, masyarakat Muria (khususnya Colo –red) pra-Islam memiliki kepercayaan animisme. Dia mengungkapkan, bekas-bekas kepercayaan itu masih terasa pada akhir tahun 1950-an ketika sebagian masyarakat mengadakan ritual bakar menyan setiap malam jumat, memberikan sesajen, dan sebagainya sebagai sarana untuk meminta rezeki dan pertolongan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Widjanarko ketika dalam perjalanan Jelajah Muria di Desa Tempur (yang diyakini banyak pihak sebagai kawah purba Muria) , Jepara. Pada lokasi Candi Angin Kidul dan Candi Angin Lor, Dukuh Duplak, Tempur, Jepara terdapat bukti bebatuan yang tertata dengan rapi  tetapi bukan berasal dari Hindu atau Budha. “Namun, saya belum berani menarik kesimpulan mengenai persoalan apakah sebelum Hindu, Budha masuk ke Jawa sudah ada masyarakat Jawa  penganut  keimanan asli Jawa, khususnya di Kawasan Muria. Hal ini masih saya cek dengan  kawan-kawan sejarah dan arkeologi.” Ungkap Widjanarko.
Sunan Muria
Berbicara tentang sejarah Gunung Muria tidak bisa terlepas dengan keterlibatan Sunan Muria. Dialah sosok yang dikenal sebagai wali yang menyebarkan agama Islam dan membentuk peradaban baru yang bernafaskan Islam di kawasan Muria. Sunan Muria yang bernama asli Raden Umar Said ini memiliki ikatan erat dengan perjuangan Walisongo, khususnya kepada Sunan Kudus yang merupakan kakak iparnya. Mengenai asal muasal Sunan Muria masih kontroversi di antara banyak kalangan. Dalam literature sejarah sering disebutkan bahwa Sunan Muria merupakan putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq. (Seperti dalam bukunya Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, terbitan Menara Kudus, Kudus, 1974).
Widjanarko menyepakati pendapat tersebut. dia mengutip pendapat Slamet Muljana, dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), disebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''. Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. “Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.” Ungkap lelaki yang juga Dosen Psikologi di Universitas Muria Kudus itu.
Widjanarko juga merujuk pada karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), yang menurutnya lebih ilmiah dalam menelusuri silsilah Sunan Muria. Buku tersebut berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Setelah ditelisik dari trah yang masih ada, terdapat keganjilan mengenai asal usul Sunan Muria. Menurut Mastur Muhdi, selaku pengurus Yayasan Pengelola Makam Sunan Muria, Sunan Muria bernama asli Raden Umar Said bin Sayyid Karomat dengan Nyi Ageng Maloko. Berbeda dengan cerita yang berkembang di literatur sejarah, Sunan Muria bukan warga pribumi tetapi pendatang dari Timur Tengah selatan.
Mastur menuturkan, asal usul Sunan Muria versi ini menurut silsilah lama yang disalin pada tahun 1968 sesuai aslinya. Bahkan fakta ini disebutnya berdasarkan wawancara kepada K. Ismail Honggo Wiyono (alm), sesepuh kawasan Muria yang merupakan keturunan Sunan Muria. Sayangnya silsilah yang didapatkan hanya sampai pada kedua orang tuanya, kemudian turun sampai trah generasi kesepuluh. Mengenai kontroversi silsilah Sunan Muria, menurut Widjanarko tidak perlu diperdebatkan. “Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah.” Tutur lelaki yang juga Dosen Psikologi Universitas Muria Kudus ini.
Sunan Muria memilih berdakwah di daerah pegunungan dengan beberapa pertimbangan. Sosok Sunan yang rendah hati dan bergaya hidup sederhana ini mendirikan masjid di puncak gunung supaya menarik perhatian para penduduk sekitar. Kesederhanaan dan kezuhudan beliau diuji, ketika kemegahan bangunan masjid Muria mendapat sanjungan dari berbagai kalangan, termasuk para wali. Untuk menghilangkan stigma kemegahan tersebut, Sunan Muria memutuskan untuk membakar habis bangunan masjid, yang kemudian didirikanlah masjid yang lebih sederhana. Masjid tersebut memiliki sengkalan  4.4.1668 yang berarti tahun pembangunan.
Menurut Mastur, keabsahan cerita pembakaran masjid pernah dibuktikan ketika adanya renovasi masjid pada tahun 1974. Pada waktu itu ditemukan sisa-sisa pembakaran berupa arang kayu ketika menggali fondasi masjid. “Cerita tersebut memberikan pelajaran bagi kita untuk senantiasa rendah hati dan hidup sederhana.” Kata Mastur.
Sikap wira’i dan tidak suka bermegah-megah ini juga ditunjukkan ketika Sunan Muria bersilaturrahim ke rumah iparnya, yakni Sunan Kudus. Sunan Ja’far Shodiq termasuk kategori wali yang cukup kaya. Untuk menghormati kedudukan Sunan Kudus, Sunan Muria memakaikan “Lung Wi” kepada putrinya dan seketika menjadi emas. Selesai silaturrahim, beliau membuang emas tersebut dan berubah menjadi Lung Wi kembali. Karena beliau tidak suka dengan perhiasan seperti emas, muncul mitos di kalangan peziarah bahwa tidak boleh memakai perhiasan yang berlebihan ketika berkunjung ke makam. Jika hal itu dilanggar maka mereka akan kehilangan perhiasan tersebut.
Widjanarko juga memuji metode dakwah Sunan Muria. “Gayanya yang ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.” Tuturnya.
Jenis tradisi yang berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. “Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat.” Ungkap Widjanarko mengakhiri wawancara.

Kraton demak yang masih banyak menyimpan misteri

Masjid Agung Demak
Di mana sebenarnya lokasi keraton kerajaan Demak? Banyak penelitian dilakukan, namun belum juga berhasil mengungkap di mana letak keraton yang didirikan Raden Patah tersebut.

Ada beberapa teori tentang keberadaan Keraton Demak. Bekas Keraton Kesultanan Demak itu tidak ada. Kemungkinan ini disimpulkan dari keterangan bahwa Raden Patah menyebarkan Islam di Demak semata-mata untuk kepentingan Islam.

Pendirian Masjid Agung Demak yang dilakukan bersama para Walisanga merupakan simbol Kesultanan Demak. Sedangkan kediaman Raden Patah bukan berupa istana megah, melainkan rumah biasa yang diperkirakan berletak di sekitar stasiun kereta api sekarang.

Teori kedua, mengingat letak masjid pada umumnya tak terlampau jauh dari istana, letak Keraton Demak diperkirakan berada di tempat yang sekarang berdiri Lembaga Pemasyarakatan, yakni di sebelah timur alun-alun. Kemungkinan ini didasarkan pada nama-nama perkampungan yang diduga memiliki latar belakang historis seperti Setinggi (Sitihinggil), Betengan, Pungkuran, Sampangan, dan Jogoloyo.

Teori ketiga, letak Istana Demak berhadapan dengan Masjid Agung, menyeberangi sungai, ditandai adanya dua pohon pinang

Tim peneliti dari Fakults Sastra Undip tahun 1994-1995 menyimpulkan bahwa lokasi Keraton Demak berada di dekat Masjid Agung dan alun-alun. Ditinjau dari segala aspek, baik secara historis, kultural, ekologis, politis, dan ekonomis, keraton Demak paling relevan berada di sebelah selatan, bagian timur alun-alun, menghadap ke utara, pada lokasi yang oleh masyarakat setempat disebut Setinggil. Itulah hasil penelitian tim pencarian pusat dan tata letak pemerintahan kerajaan islam Demak yang dipimpin Ir Sudjadi.

Tak ada satu pun buku, literatur, legenda, maupun babad yang mennyinggung perihal fisik Keraton Demak. Berdasarkan hasi tes geolistrik, yakni pemetaan wilayah menggunakan foto udara, juga hasil diskusi para peneliti, disimpulkan bahwa Keraton Kesultanan Demak berada di sekitar Masjid Agung yang sekarang berdiri Kantor Kejaksaan Negeri. Di lokasi ini pernah ditemukan juga keramik-keramik dari masa Kesultananan Demak.

Banyak pihak yang memiliki pandangan berbeda tentang posisi yang pasti letak keraton Bitu. Persoalan tersebut juga pernah menjadi bahan kajian menarik dalam seminar bertema ’’Mengungkap Silsilah dan Situs Kerajaan Demak’’ yang diadakan LSM Gelora di aula Gedung DPRD Demak, beberapa waktu lalu. Tampil sebagai pembicara Prof Dr Wasino M Hum (guru besar sejarah Unnes) Prof Dr H A Sutarmadi ((UIN Syarif Hidayatullah), Drs H Masrun M Nor MH, Triyanto Triwikromo (Redaktur Suara Merdeka) dan R Sumito Joyo Kusumo.

Prof Wasino mengungkapkan, runtuhnya kerajaan Demak terjadi beberapa waktu setelah wafatnya Sultan Trenggono. Saat itu, terjadi konflik keluarga. Ketika situs keraton Demak yang tinggal reruntuhan  dihancurkan oleh pemerintahan Belanda pada masa Gubernur Jenderal Daendels. Kemungkinan batu bata dan pondasi keraton dipakai untuk landasan membuat jalan raya Anyer –Panarukan. Posisi keraton dipakai untuk jalan dari arah Semarang hingga ke Demak.

“Posisi situs kerajaan itu berada di sebelah alun-alun Demak yang sekarang menjadi jalan raya. Situs tersebut telah hancur sejalan dengan perkembangan Jalan Daendels yang telah merobohkan bekas keraton,” kata Rudy J, pengamat budaya Demak.

Bekas istana semakin hilang pada akhir abad ke XIX, bertepatan dengan pembuatan jalur kereta api Semarang-Juwana melalui Demak. Pembuatan jalur kereta api tepat melalui pusat kerajaan (keraton) Demak. ’’Jadi situs bangunan kerajaan Demak ini kemungkinan sudah lenyap tertimbun bangunan lain,’’ katanya.

Hasil penelitian tim pencari pusat dan tata letak pemerintahan kerajanaan Islam menyebutkan hasil tes geolistrik atau pemetaan wilayah melalui udara, posisi kerajaan berada di lahan yang kini dipergunakan untuk kantor Kejaksaan Negeri. Di situ juga pernah ditemukan keramik-keramik keraton. Kemungkinan lain keraton berada di tanah yang dipakai untuk SMPN 2 Demak.

Asal Usul 9 Desa Kec Gebog Kab Kudus

1. RAHTAWU
Rahtawu berarti darah yang mengalir
Pada jaman dahulu konon pada saat istri Sakri melahirkan seorang anak laki-lakinya yang di berinama Abiyoso itu banyak mengeluarkan darah bahkan hingga tidak bisa di hentikan, sehingga darah keluar bagai aliran air. sehingga saat itu sakri yang sekarang dikenal Eyang Sakri memberi nama desa tersebut RahTawu  ( yaitu  darah keluar yang banyak dan sampai ditawu )
2. Menawan
Menawan : Keindahan yang berlebiahan
Pada jaman dulu desa tersebut sangat indah dengan panorama Hutan pegunungan dan Hewan-hewan hutan yang selalu berbunyi dan bersahut-sahutan, sehingga dinamakan Menawan
3. Kedungsari
Kedungsari : Kubangan air kuhidupan
di jaman dahulu di desa ersebut terdapat kubangan air yang tidak pernah bisa kering walau pun di musim kemarau dan kubangan tersebut merupakan satu-satunya uratnadi bagi masyarakat desa. sehingga desa tersebut dinamakan Kedungsari
4. Gondosari
Gondosari : Bau Harun yang sangat menyengat
pada jaman dahulu seorang pedagang dari gujarat lewat di desa tersebut dan sesampai disana mencium bau yang sangat harun dan menyengat bau tersebut tidak hilang hilang, hakan setiap kali datang dan singgah diasana selalu mencium bau harum yang sama sehingga di desa tersebut diberi nama Gondosari
5. JURANG
Jurang : Tebing yang curam
desa Jurang pada jaman dahulu merupakan sebuah kawasan pegununggan yang berada di bawah tebing yang curam dan sangat sulit dilalui, sehingga desa tersebut diberi nama Jurang
6. BESITO
Besito : Hati yang Lapang
besito berasal dari kata Asmaul Husna  Basyito’ yang berarti Lapang dan disamping itu masyarakat besito sangat pemaaf dan ramah-ramah seingga desa tersebut di beri nama Besito
7. GRIBIG
Gribig : berasal dari nama KI AGENG GRIBIG
pada jaman dahulu Ki Ageng Gribig belajar ilmu agama pada Sunan Kudus, selama menuntut ilmunya ia singgah di kediaman Syeh Abdul Basyir ( Sunan Kedu ) di desa tersebut, hingga desa tersebut di beri nama GRIBIG
8. KARANGMALANG
Karangmalang ; Karang sing malang-malang
Pada jaman dahulu masyarakat desa tersebut tiap menjelang pagi melihat para warga nya mengendong karang di jalan dan mereka berjalan besama-sama malang-malang sehingga desa tersebut di beri nama Desa Karang malang
9. Padurenan
Padurenan : Yen Padu mesti Leren
pada jaman dahulu padurenan merupakan suatu  daerah yang bila orang punya masalah dan bertengkar kemudian  singgah disana maka  akan mendapat jalan keluar dan baikan kembali ( akur ). maka Oleh Mbah Syarif desa tersebut di beri nama PADURENAN

Sejarah dan Asal Usul ratu kalinyamat dan sultan hadirin

Ada beberapa versi cerita mengenai siapa sebenarnya Kanjeng Ratu Kalinyamat. Menurut babad tanah jawi edisi Meinsma, Ratu kalinyamat adalah seorang putri pangeran Trenggono dan cucu Raden patah, Sultan Demak yang pertama. Dari perkawinannya dengan putrid cina Cina, Raden patah mempunyai enam anak. Yang paling seorang putri, Ratu Mas kawin dengan pangeran Cirebon. Adik-adiknya berjumlah lima orang semunya laki-laki, masing-masing pangeran Sabrang Lor, Pangeran Sedo Lepen, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan dan Raden Pamekas.

Ratu Kaliyamat, Jepara

Siapa nama sebenarnya Kanjeng ratu kalinyamat ini , ada beberapa yang mencoba di hubungkan. Naskah Hikayat Hasanuddin dari banten menyebutnya dengan julukan Arya Jepara. Sumber lain menyebutkan ia bernama asli Ratu Kencana sementara juru kunci makam menuturkan bahwa nama aslinya ialah Raden Ayu Wuryani.

Kekuasaan Pemerintahan Sultan Hadlirin

Begitulsh akhirnya Raden Toyib diberi gelar Sultan Hadlirin dan menjadi adipati Jepara sekaligus merupakan pengampu putra mahkota Aria Pangiri yang belum dewasa. Penobatan tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1536 dan tetap menjadikan Kalinyamat sebagai pusat pemerintahan. Kekuasaannya meliputi negeri Jepara, Pati, Rembang dan Juana.

Setelah penobatan suaminya lebih bersifat pendamping.saja. hampir semua urusan pemerintahan di serahkan kepada Sultan Hadlirin, bahkan Patih Cie Wie Gwan (ayah angkat sewaktu di Tiongkok) kini diundang oleh Sultan Hadlirin untuk dating ke Jepara, dan akhirnya diangkat sebagai patih kerajaan guna membantu pemerintahan Sultan Hadlirin.

Menikah Dengan Putri Sunan Kudus

Tahun demi tahun berlalu, pemerintahan Sultan Hadlirin dengan di dampingi oleh istrinya dengan gaya kepemimpinan yang adil dan bijaksana berjalan sangat maju dan pesat. Bahkan Bandar Jepara menjadi semakin ramai saja. Namun setelah lama perkawinannya dengan Ratu Kalinyamat Sultan Hadlirin belum jua di di beri momongan. Hingga Sultan mengambil anak dari Sultan Hasanuddin dari banten yang bernama Dewi Wuryan Retnowati sebagai anak angkatnya. Sayang putri angkatnya meninggal sebelum usia baligh. Perasaan Kanjeng Ratu sangat gelisah sepeninggal putri angkatnya karena sampai saat itu belum jua di kasih keturunan, hal itu beralasan kuat mengingat kekuasaannya sangat luas. Jika belum jua di kasih lantas siapa yang meneruskan ketahtaannya itu ? di dorong dengan kegelisahan tersebut Kanjeng Ratu berupaya mencari jalan keluar pemecahannya. Setelah berpikir-pikir lama akhirnya sultan di perbolehkan menikah lagi. Dan di putuskan sultan Hadlirin menikah dengan putrid sunan kudus bernama Raden Ayu Pridobinabar, perkawinan tersebut seakan-akan mengabungkan dua kekuasaan antara Jepara dan Kudus. Konon semua urusan berkaitan dengan pernikahan Sultan Hadlirin dengan Putri sunan Kudus di Urus oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat .

Wafatnya Sultan Hadlirin

Ada dua penuturunan cerita tentang kematian Sultan Hadlirin meski kedua penuturunan itu menyatakan Arya Jipang atau Arya Penangsang yang membunuhlah Sultan Hadlirin.

Versi Pertama

Penuturan yang pertama mencoba menghubungkan pembunuhan dengan krisis perebutan tahta di Demak Bintoro. Sehingga dalam penyebab kematian tersebut bebrbau politik.

Ketika Demak terjadi krisis hebat dalam perebutan tahta kerajaan, konon kekuasaan Sultan semakin memuncak. Setelah Raden Patah meninggal yang disusul pula dengan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, tahta kerajaan harusnya berpindah tangan ke adiknya yang paling tua yaitu Pangeran Seda Lepen. Namun ia harus juga meninggal setelah di bunuh oleh Sunan Prawoto yang nampaknya telah mengincar tahta kerajaan Demak. Karena pembunuhan tersebut tahta kerajaan jatuh ke tangan Pangeran Trenggana ayah Sunan Prawoto. Setelah Pangeran meninggal cita-cita Sunan Prawoto tercapai, ia menjadi pewaris tahta kerajaan Demak. Namun Arya Penangsang menjadi geram karena pembunuh ayahnya menjadi malah muncul sebagai Sultan Demak. Bahkan ia menuntut haknya sebagai pewaris kesultanan Demak yang sah. Maka Arya Penangsang menyuruh abdinya yang bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto. Usaha tersebut berhasil, tapi kekuasaan dan kekayaan jatuh ketangan Sultan Hadlirin yang sekaligus mendapat hak menjadi pengampu Arya Pangiri, putra mahkota kerajaan Demak hingga dewasa. Hal itu bias terjadi karena istri Sultan Hadlirin adalah kakaknya Sunan Prawoto. Tentu saja Kanjeng Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin meminta keadilan atas perbuatan murid nya kepada Sunan Demak, Arya Penangsang. Tapi Sunan Kudus membenarkan perbuatan Arya Penangsang malah ia berkata “kakamu telah hutang pati pada Arya Penangsang oleh karenanya kakakmu bagaikan membayar hutang saja”. Kanjeng Ratu menjadi kecewa atas perkataan Sunan Kudus dan ia segera pulang bersama suaminya. Namun di tengah perjalanan itu ia dihadang oleh utusan Arya Penangsang yang memang di tugaskan untuk mencegatnya dan suaminya. Dalam pencegatan itulah akhirnya Sultan Hadlirin berhasil dibunuh oleh Arya Penangsang. Hal itu terjadi kira-kira tahun 1471 tahun Jawa atau 1549 M.

Versi Kedua

Sebuah penuturan hikayat menyatakan bahwa Sultan Hadlirin ikut andil dalam pembanguna masjid menara Kudus. Konon sebelum pembangunan masjid, Sunan Kudus mengumpulkan segenap keluarganya dan pembantunya, Sunan Kudus membagi tugas dalam permusywaratan ternyata Sultan mendapat tugas untuk membuat mihrab masjid. Segera diputuskan pula bahwa masjid harus jadi pada hari Jum’at Wage. Seluruh bagian-bagian masjid harus terkumpul, entah kenapa pada hari itu Sultan tidak hadir ke lokasi pendirian masjid. Sunan kudus masih bersabar ia berpikir barangkali ada urusan mendadak sehingga Sultan tak bias hadir. Singkat cerita setelah lama belum munculakhirnya tiba-tiba Sultan muncul. Tentu saja Sunan Mau memarahinya, malah ia langsung kebelakang masjid. Dalam hati Sunan Kudus merasa heran mau apa menantunya itu. Sunan terus mengamati ia semakin heran melihat sultan Hadlirin memunguti daun-daun pisang yang telah kering(jawa=klaras) dan mengikat dengan talu pada tiang-tiang yang dipancangkan pada tempat mihrab. Memdadak Sunan mendengar gelegar cambuk tiga kali, mendadak terkejut sebab yang tadinya hanya sekumpulan klaras yang di ikat telah berubah menjadi sebuah tembok yang kuat. Tanpa bertele Sultan pergi tanpa berpamitan dan langsung kembali ke Jepara. Segera sepeninggal Sulta tiba-tiba telah berdiri dengan megahnya. Tentu saja membuat perasaan Sunan menjadi marah dan geram ia mnendang mihrab itu, konon Sunan sampai terjengkang jengkang. Ia merasa Sultan pamer kesaktian di depannya. Ia merasa di remehkan dan di hina, akhirnya ia memanggil Arya Penangsang dan menuruh untuk membunuh Sultan Hadilrin. Padahal Arya Penangsang sendiri merasa takut dan gentar mengdapi Sultan Hadlirin. Maka ia memrintahka abdinya dan menyuruh untuk membunuh sultan dan langsung mengejar sultan. Setelah terkejar abdinya merasa gemetar untuk menghadapi sultan.Sultan merasa terkejut ada orang yang menghadangnya, ia bertanya apa sebenarnya yang di inginkannya, karena takut abdi itu berterus terang bahwa dia di utus untuk membunuh nya. Sungguh heran, Sultan Hadlirin tak sedikit pun marah. Bahkan seakan-akan ia sudah tahu ajalnya telah tiba. Ia menyuruh segera abdinya untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya sultan berhasil di bunuh.

Ratu kalinyamat Bertapa

Tahun inin adalah tahun yang berkabung. Betapa tidak dua orang yang dicintainya, suaminya kakaknya suami yang terkasih harus meninggalkan dia. Peristiwa tersebut membuat Kanjeng Ratu sangat tertekan dan nelangsa. Maka didoronglah oleh kesedihannya yang berat, ia bersumpah akan terus bertapa sampai Arya Penangsang terbunuh.

Dalam pertapaan Kanjeng ratu menjalankan tirakat “Topo Wudo” atau telanjang. Ini naskah ‘Babad Tanah Jawi’ yang dituturkan dalam rakitan tembang Pangkur yang sangat memikat.
“Nimas Ratu KalinyamatTilar pura mratapa aneng wukirTapa wuda sinjang rambutApane wukir DonorojoAprasapa nora tapih-tapihan angsunYen tan antuk adiling hyangPatine sedulur mani’Artinya :“Nimas Ratu KalinyamatMeninggalkan istana bertapa di gunungBartapa telanjang berkain rambutDi gunung DonorojoBersumpah tidak (akan) sekali-kaliMemakai pakain akuJika tidak memperoleh keadilan Tuhan(atas) meninggalnya saudaraku’

Ungkapan bahwa Ratu kalinyamat bertapa “dengan telanjang” dan berkain rambut haruslah di beri penafsiran dan di artikan apa adanya. Perkataan ‘wuda” dalam bahasa jawa tidah hanya telanjang. Akan tetapi bisa kiasan “tidak mengenakan perhiasaan yang bagus-bagus dan pakain yang indah-indah.

Kepergian Kanjeng Ratu membuat suasana geger keratin. Tak urung Adipati pajang, Prabu Hadiwijaya bersama Ki Pamahan dan Ki Panjawi melacak dan mencari kemana perginya Kanjeng Ratu Kalinyamat untuk bertapa. Sebenarnya keberadaan tempat pertapaan Kanjeng Ratu tidak jauh dari keratin hanya berjarak beberapa maeter kea rah timur dari pesanggrahan. Apalagi letaknya juga berada di pinggir sungai sehingga cocok untuk bertirakat. Tempat itu sampai sekarang di sebut dengan nama “Gilang” berasal dari kata gilang-gilang atau luas. Bahkan masih di temukan batu bekas alas Ratu untuk Sholat dan Wudlu. Adipati Hadiwijaya akhirnya menyusul ke tempat Pertapaannya Ratu dan membujuk Ratu untuk kembali ke keratin, namun tekad Ratu sudah bulat ia tak kan pulang sebelum Arya penangsang mati terbunuh. Bahkan Ratu berpindah tempat tapa ke Gunung Donorojo (Donoroso) kembali Adipati Hadiwijaya menyusul dan membujuk agar turun dari pertapaannya namun kembali Kanjeng ratu menolaknya. Dalam kesempatan itu Ratu meminta untuk membunuh Arya Penangsang aka tetapi Adipati Pajang menolak. Berkat desakan Ki Pamanahan dan Ki Panjawi Adipati Hadiwijaya mau melakukannyan.

Malam harinya bersama Ki Pamanahan, Ki panjawi dan Ki Juru Mertani berunding mangatur siasat. Akhirnya Adipati Hadiwijaya membuat sayembara “Barng siapa yang berani membunuh Arya Penangsang Sultan Pajang akan memberi hadiah negeri Pati dan Mataram. Tak seorang pun berani untuk menyanggupi maju melawan Arya Penangsang. Kemabali mereka berunding dan akhirnya diutuslah Danang Sutowijoyolah yang maju menghadapi Arya penangsang. Setelah strategi di rencanakan dengan matang berangkat lah Danang Sutowijoyo yang di bekali dengan tombak yang sakti bernama Kyai Pleret, bersama Ki Pamanahan, Ki Panjawi, Ki Juru Mertani serta kurang lebih 200 orang kea rah bengawan Caket dan bersiap menghadang Arya Penangsang.

Alkisah Ki Pamanhan mendekati penyabit rumput yang biasa memberi makan kuda-kuda milki Aryo Penangsang. Telinga penyabit rumput itu di potong dan sebuah surat tantangan di gantungkan pada bekas potongan telinga itu. Penyabit itupun dengan mengerang-erang krsakitan berlari kerumah tuannya. Setelah sampai di pintu gerbang istana Ki Mataun, Patih negeri Jipang terkejut. Ia membayangkan Gustinya pasti akan marah bila mengetahuinya. Karena itulah ia melarangnya menghadap Aryo penangsang.

Waktu itu Aryo Penangsang edang makan. Ia mendengar keributan di luar, ia memanggil Ki Mataun dan menanyai sebab keributan di luar. Sat itu juga Aryo Penangsang melihat abdinya berlumuran darah. Maksud dari surat itu adalah Jika benar-benar kamu laki-laki,ayo berperang tanding tanpa bala tentara menyeberanglah ke barat Bengawan aku tunggu sekarang”

Dengan tergesa-gesa dan muka yang merah Aryo Penangsang langsung menunggangi si Gagak Rimang(kuda kebanggannya). Maka langsunglah Aryo Penangsang langsung berangkat tanpa bala tentaranya. Setelah sampai di Bengawan Sore-Coket, konon masyarakat disitu beranggapan bila ingin berperang tapi melewati Bengawan Coket akan memui kesialan. Benar anggapan masyarakat itu terjadi setelah Gagak Rimang melihat kuda berwarna putih bersih mendadak timbl birahinya. Ia segera melonjak-lonjak tanpa bisa lagi dikendalikan oleh tuannya. Ketika ia masih berusaha mengendalikan kuda banal yang dibakar birahi tersebut, Danang Sutawijaya berhasil menikam Arya Penangsaang dengan kyai Pleretnya itu. Usus Arya pun terburai keluar, namun usaha tersebut nampaknya belum juga berhasil bahkan usunya yang terurai itu sisampirkan ke hulu kerisnya. Gagak Rimang memang banal ia terus mengejar kuda putih Danang Sutawijaya yang memang di bawa menjauh. Setelah berhasil mengejar Danang Sutawijaya ia bermaksud mencabut keris pusaka setan kober miliknya, ia betul-betul lupa bahwa ususnya masih menyangkut di hulu kerisnya. Maka terputuslah usunya yang terburai dengan bersamaan tercabutnya setan kober dari rangkanya. Maka tewaslah Aryo Penangsang dengan mengenaskan dan tragis.

Penobatan Ratu kalinyamat

Setelah kematian suminya yang menjadi Adipati Jepara tanpa meninggalkan putra yang menjadi penggantinya. Dan setelah selesai pertapaannya dinobatkanlah Kanjeng ratu Kalinyamat sebagai ratu di Jepara. Pentasbian ini terjadi dengan di tandainya Surya Sengkala : “Trus Karya Tataning Bumi” atau kira-kira tahun 1549 M dengan dugaan tanggal 12 Rabi’ulAwal.

Ratu Kalinyamat merupakan seorang kepala keperintahan yang cakap dan di segani. Bahkan sumber sejarahPortugis De Couto dalam bukunya yang terkenal “Da Asia” menyebutkan Ratu Kalinyamat “Rainha de jepara senhora ponderosa e rica”. Artinya Raja jepara, seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar. Kebesaran dan kehebatan kekuasaan Ratu Kalinyamat dapat di lihat dari serangan yang di lakukan ketika ia masih berkuasa. Pada tahun 1550 yang kemudian di ulanginya 1574 ia menyerang orang Portugis di Malaka.

Bedhahe Kalinyamat

Bagaimapun besar dan kuatnya Ratu Kalinyamat ia tetaplah manusia biasa yang tak luput dari takdir illahi. Ia adalah manusia biasa yang suatu saat harus kembali memenuhi panggilan Tuhanya. Sayangnya tahun berapa dank arena peristiwa apa kemangkatan Ratu ini tak di ketahui secara pasti. Tak ada sumber yang menyebutkan tak ada peningggalan yang dapat di buktikan. Bahkan karyaikarya tulisan Jawa pun tak satupun mencantumkanperistiwa ini. Ada sementara kemungkinan yang mengatakan bahwa Kanjeng ratu Kalinyamat baru saja meninggal tahun 1579 M. demikian juga dengan penerus kerajaan kalinyamat setelah kemangkatan beliau. Siapakah penggantinya? Bagaimana kepemimpinannya? Tak satupun sumber-sumber otentik yang menyebutkannya.

Sementara anggapan di kalangan para sejarawaan, bahwa kedudukan ratu Kalinyamat digantikan oleh sultan Hasanuddin dari Banten yang tergolong masih keponakan sekaligus sebagai anak anggkatnya. Menurut versi ini, anak angkat ini bergelar Pangeran Jepara. Sayang, pada masa pemerintahan Pangerang Jepara ini terjadi pemberontakan di Pajang oleh Mataram yang berakhir dengan kekalahan pihak Pajang. Sehinnga pemberontakan ini terjadi pada tahun 1578 mengakibatkan keruntuhan Kesultanan Pajang.

Dua belas tahun kemudian, tiba giliran Jepara di serang bala tentara Mataram. Agaknya kali ini Jepara keteteran membendung serangan Mataram yang dahsyat. Maka tak ayal lagi, Kerajaan Jepara bernasib serupa dengan Pajang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1599 M yang meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Kalinyamat yang di kenal dengan ssebutan Bedhahe Kalinyamat.

Sejarah dan Asal Usul Sultan Hadlirin

Sebenarnya Sultan Hadlirin bukan asli orang Jepara melainkan orang aceh.semasa kecilnya sultan Hadlirin bernama Raden Toyib. Beliau merupakan putra dari raja yang berkuasa di wilayah aceh yang bernama Syech Mukhayyat Syah. Raden Toyib memilki kakak bernama Raden Takyim. Perbedaan yang mencolok dari Raden Takyim dan Toyib adalah Raden Takyimsuka berfoya-foya, malas serta bermewah-mewahan sedangkan raden Toyib lebih memilih mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tata pemerintahan. Setelah Syech Mukhayyat syah merasa dirinya telah uzur dan lanjut usia beliau bermaksud mengankat Raden Toyib sebagai seorang sultan, karena kecakapannya dan ketekunananya mempelajari ilmu-ilmu pemerintahan meskipun yang lebih berhak menjadi sultan adalah kakaknya Raden Takyim.
Sultan Hadirin
Karena pengangkatan raden Toyib sebagai sultan menimbulkan konflik baru, maka ketika mengetahui masalah tersebut raden Toyib dengan suka rela menyerahkan tahtanya kepada raden Takyim, karena sebenarnya Raden Toyib tidak mementingkan jabatan seorang sultan hanya saja atas desakan ayahandanya beliau mau menerima jabatan itu.

Begitulah akhirnya raden Toyib pergi mengembara dengan bantuan kapal para pedagang ia berhasil keluar dan mengarungi lautan luas tanpa tujuan yang pasti, kecuali satu niat untuk menegmbangkan agama islam.

Konon beliau terdampar di daratan Tiongkok. Bahkan kebetulan sekali raden Toyib diangkat anak oleh seorang patih Tionghoa yang bernama Cie Wie Gwan. Karena loghatnya orang cina dibut namanya dengan Toyab.

Singkat cerita setelah 5 tahun tinggal di di rumah patih Cie Wie Gwan, Raden Toyib mengembara lagi. Akhirnya beliau terdampar di pelabuhan pesisir pantai utara yang bernama Bandar Jepara. Saat itu Bandar Jepara merupakan pelabuhan perdagangan yang sudah ramai. Sebab ia merupakan salah satu dari delapan buah kerajaan yang merdeka di Jawa dan Madura. Masing-masing Banten, Jakarta, Cirebon Prawoto, Kedu, Madura dan Kalinyamat.sehinnga Bandar jepara merupakan garis pelayaran dan perdagangan negeri malaka.

Konon untuk menyebarkan agama islam beliau menyamar dengan memakai pakaian ala kadarnya. Karena keramahannya dalam menyiarkan agama islam banyak orang tanpa terasa telah berubah keyakinannya dari agama Hindu Budha beralih kepada ke taukhid Islam yang bawa Raden Toyib.

Beberapa lamanya tinggal di Jepara tiba-tiba tanpa suatu alasan yang pasti Raden Toyib ingin mengbdikan dirinya ke kerajaan Kalinyamat yang menguasai Jepara saat itu. Setibanya di kraton kepada penjaga istana dengan terus terang Raden Toyib menyampaikan maksudnya ingin menghadap kanjeng Ratu kalinyamat. Permintaan tersebut di kabulkan dan akhirnya kanjeng Ratu Kalinyamat memberi pekerjaan sebagai tukang kebon.

Pada suatu hari kanjeng ratu berkenan memeriksa kerajaannya. Tiba-tiba hati kanjeng Ratu berdebar-debar beliau merasa raden Toyib bukan manusia biasa. Kangjeng Ratu langsung menyai asal-usulnya, Raden Toyib tidak mau mengaku ia langsung di masukkan ke dalam penjara. Entah mengapa Raden toyib mau menceritakan asal usulnya kepada kanjeng ratu. Hati kanjeng ratu menjadi berdebar-debar untuk kedua kalinya, kanjeng ingat ramalan mendiang ayahnya tentang jodohnya yang bukan bersal dari kalangan mayrakat pribumi Jawa melainkan negeri seberang.

Karena Raden Toyib adalah seorang anak muda yang gagah perkasa tampan rupawan, hati Ratu kalinyamat tak karuan hati wanita mana yang tak menolak raden Toyib. Ia merasa bukan mustahil Raden Toyib adalah jodohnya. Hingga akhirnya Ratu kalinyamat meminta Raden Toyibuntuk menikahinya. Setelah menikah Ratu Kainyamat menyerahkan tahtanya kepada suaminya Raden Toyib.


Sejarah Kraton Yogyakarta

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota YogyakartaDaerah Istimewa YogyakartaIndonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan diImogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman[3].
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO

Tata ruang dan arsitektur umum

Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan BelandaTheodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai “arsitek” dari saudara Pakubuwono II Surakarta[6]. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7]diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan olehSultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 19211939)

Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung[8] Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.

[sunting] Arsitektur umum

Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12] . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebutRenteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti PortugisBelanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut denganBangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi AllahMuhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.[14]

 Kompleks depan

 Gladhag-Pangurakan

Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis[16]. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[17].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet[18]. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada[19]. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri[20]. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
Alun-Alun Lor
Tanah lapang, “Alun-alun Lor”, di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nya
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput[21] di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi[22]. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung(beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru[23]. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem [24] yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan “Tapa Pepe”[25] saat Pisowanan Ageng[26] sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah[27]. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut denganPekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan[28]. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.

Mesjid Gedhe Kasultanan

Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto[29]pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu[30] di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.

Kompleks inti

 Kompleks Pagelaran

Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat[31]. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba[32]. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.[33].

Siti Hinggil Ler

Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro[34] sampai sekitar tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil[35]. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia SerikatBangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan[36].
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK[37] Guntur Madu dan KK Naga WilagaBale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.

[sunting] Kamandhungan Lor

Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil denganKamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.[38]

[sunting] Sri Manganti

Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.[39]
pintu gerbang donopratopo
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobutodi sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna[40].
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalahKeputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[41]. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan olehSultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulanSuro[42]. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak[43]Bangsal Mandalasana[44]Gedhong Patehan[45],Gedhong Danartapura[46]Gedhong Siliran[47]Gedhong Sarangbaya[48]Gedhong Gangsa[49], dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat[50] pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa KesatriyanGedhong Pringgandani, danGedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.[51]

Kamagangan

Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta[52]. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.[53]

Kamandhungan Kidul

Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang[54]

 Siti Hinggil Kidul

Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil : tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya[55]. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)[56] [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.[57]

 Kompleks belakang

 Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; familiAnacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalanGading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.[58]

 Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang[59]. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.

 Bagian lain Keraton

Pracimosono

Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.[60]

 Roto Wijayan

Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy JimatKK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.[61]

Kawasan tertutup

Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepenmerupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan[62]. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.[63]
Taman Sari
Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta
Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat Sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.[64]

Kadipaten

Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: “Pangeran Adipati Anom”. Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.[65]

 Benteng Baluwerti

Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota di tahun17851787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung, dua diantaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.[66]